KH Rahmat Abdullah

Mungkin terjadi seseorang yang dahulunya saling mencintai akhirnya saling memusuhi dan sebaliknya yang sebelumnya saling bermusuhan akhirnya saling berkasih sayang. Sangat dalam pesanan yang disampaikan Nabi SAW : "
Cintailah saudaramu sekadarnya, mungkin suatu masa ia akan menjadi orang yang kau benci. Bencilah orang yang kau benci secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi kekasih yang kau cintai." (HSR Tirmidzi, Baihaqi, Thabrani, Daruquthni, Ibn Adi, Bukhari).

Ini dalam kaitan interpersonal. Dalam hubungan kejamaahan, jangan ada reserve kecuali reserve syar'i yang menggariskan aqidah "La tha’ata limakhluqin fi ma’shiati’l Khaliq". Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluq dalam berma'siat kepada Alkhaliq. (HSR Bukhari, Muslim, Ahmad dan Hakim).

Doktrin ukhuwah dengan bingkai yang jelas telah menjadikan dirinya pengikat dalam senang dan susah, dalam rela dan marah. Bingkai itu adalah :
"Level terendah ukhuwah (lower), jangan sampai merosot ke bawah garis rahabatus’ shadr (lapang hati) dan batas tertinggi tidak (upper) tidak melampaui batas itsar (melebihkan saudara diatas kepentingan diri).

Bagi kesejatian ukhuwah berlaku pesan mulia yang tak asing di telinga dan hati setiap ikhwah :
"Innahu in lam takun bihim falan yakuna bighoirihim, wa in lam yakunu bihi fasayakununa bighoirihi" (Jika ia tidak bersama mereka, ia tak akan bersama selain mereka. Dan mereka bila tidak bersamanya, akan bersama selain dia). Kerananya itu semua akan terpenuhi bila ‘hati saling bertaut dalam ikatan aqidah’, ikatan yang paling kokoh dan mahal. Dan ukhuwah adalah saudara iman sedang perpecahan adalah saudara kekafiran (Risalah Ta'lim, rukun Ukhuwah).

Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwah


"Dan jika kamu berpaling, maka ALLAH akan gantikan dengan kaum yang lain dan mereka tidak akan jadi seperti kamu" (Qs. 47: 38).

Setiap dari kita memiliki pengalaman peribadi dalam da'wah ini. Ada duat yang walaupun berada dalam kesibukan yang tinggi, tidak pernah terganggu oleh kunjungan yang bertembung dengan jadual da'wah atau oleh urusan yang merugikan da'wah.

Mengapa ? Kerana sejak permulaan dakwahnya dia tegar dalam mengutamakan kepentingan da'-wah dan menepikan kepentingan lainnya. Namun, ini jauh dari fikiran yang membuat seorang melarikan diri dari tanggungjawab keluarga.

Ada seorang ikhwah sekarang sudah masuk peringkat masyaikh. Dia bercerita, ketika menikah, dia berpisah dari kedua orang tua masing-masing. Mereka menyewa rumah petak sederhana. "Ketika mahu keluar berdakwah, mendung menyimbahi
wajah pengantinku tercinta", tuturnya.

Si isteri tak sanggup melepaskan sang suami untuk keluar dan menangis sedih. Seolah-olah kefahaman da’wah telah mengelupas. Jarang seorang da’i dan murabbi pulang malam apalagi petang hari, kerana mereka biasa pulang di pagi hari, seusai program.

Perang pun mulai berkecamuk dihati, seperti Juraij sang abid yang kebingungan kerana ibadah (sunnah) nya terusik panggilan ibu. "Ummi au shalati : Ibuku atau shalatku?"

Sekarang yang membingungkan diri dia "Zauji au da’wati" : Isteriku atau da’wahku ?".

Dia mulai gundah, kalau berangkat kerana bermasam muka, padahal sudah tahu nikah dengan seorang daie ini, risikonya memang akan pulang pagi, menurut
bahasa Indonesia kontemporer untuk jam diatas 24.00.

Dia katakan pada isterinya : "Kita ini dipertemukan oleh Allah dan kita menemukan cinta dalam da’wah. Adakah sesudah da’wah mempertemukan kita lalu kita meninggalkan da’wah. Saya cinta kamu dan kamu cinta saya tapi kita pun cinta Allah".

Dia pergi merempuh segala dugaan dan pulang masih menemukan sang permaisuri dengan wajah masih bermasam muka, namun si isteri tersenyum kembali setelah beberapa hari. Beberapa tahun kemudian, setelah beranak tiga atau empat, saat kelesuan dan kefuturan menerpanya, si isteri dan anak-anaknyalah yang mengingatkan, mengapa tidak berangkat dan tetap tinggal dirumah?

Sekarang ini keluarga da’wah tersebut sudah menikmati berkah da’wah.

Lain pula kisah sepasang suami isteri yang juga dari masyarakat da’wah. Kisahnya hampir sama, penyikapannya yang berbeza. Pengantinnya tidak siap ditinggalkan untuk da’wah. Perang perasaan terjadi dan malam itu ia tidak menghadiri halaqahnya.

Dilakukan muhasabah terhadapnya sampai menangis-menangis, ia sudah kalah oleh penyakit "syaghalatna amwaluna waahluna : kami telah dilalaikan oleh harta dan keluarga" (Qs. 48:11).

Ia berjanji pada dirinya : "Meskipun terjadi hujan, petir dan gempa saya harus hadir dalam tugas-tugas da’wah".

Pada giliran berangkat untuk ke program keesokan harinya, ada seorang mengetuk pintu rumah, ternyata mertua dating. Maka ia pun tidak hadir lagi halaqah dan dimuhasabah lagi sampai dan menangis-nangis lagi.

Dan dia berkata lagi ; Saat tugas da'wah besok apapun yang terjadi, mau hujan, badai, mertua datang dll pokoknya saya harus datang. Dan begitu pula ketika mahu sahaja dia ke program, ternyata ujian dan cobaan datang kembali dan iapun tak hadir lagi dalam tugas-tugas dak-wah.

Sampai hari ini pun saya melihat jenis akh tersebut belum memiliki komitmen dan disiplin yang baik. Tidak pernah merasakan memiliki kelezatan duduk cukup lama dalam forum da’wah, baik halaqah atau pun musyawarah yang keseluruhannya penuh berkah. Sebenarnya adakah pertemuan-pertemuan yang lebih lezat selain pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh ikhwah berwajah jernih berhati ikhlas ? Saya tak tahu apakah mereka menemukan sesuatu yang lain, "in lam takun bihim falan takuna bighoirihim".

Di Titik Lemah Ujian Datang

Akhirnya dari beberapa kisah ini saya temukan jawabannya dalam satu simpul. Simpul ini ada dalam kajian tematik ayat QS Al-A’raf Ayat 163 : "
Tanyakan pada mereka tentang negeri di tepi pantai, ketika mereka melampaui batas aturan Allah di (tentang) hari Sabtu, ketika ikan-ikan buruan mereka datang melimpah-limpah pada Sabtu dan di hari mereka tidak bersabtu ikan-ikan itu tiada datang. Demikianlah kami uji mereka kerana kefasikan mereka".

Secara langsung tema ayat tentang sikap dan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Tetapi ada nuansa lain yang menambah kekayaan tsaqafah kita. Ini terkait dengan ujian.

Waktu ujian itu tidak pernah lebih panjang daripada usia tarbiyah, tetapi banyak orang tak sabar menghadapi ujian, seakan sepanjang hidupnya lebih banyak ujian
dari tarbiyah. Ujian kesabaran, keikhlasan, keteguhan dalam berda’wah lebih sedikit waktunya dibanding berbagai kenikmatan hidup yang kita rasakan.

Selebih dari ujian-ujian kesulitan, kenikmatan itu sendiri adalah ujian. Bahkan, alhamdulillah rata-rata kader da’wah sekarang secara ekonomi semakin lebih baik.

Seorang masyaikh da’wah ketika selesai menamatkan pendidikannya di Madinah, mengajak rakannya untuk mulai aktif berda’wah. Rakannya menolak, dengan alasan ingin kaya dulu, kerana orang kaya suaranya didengar orang dan kalau berda’wah, da’wahnya diterima. Beberapa tahun kemudian mereka bertemu.
"Ternyata kayanya untuk dirinya sendiri sahaja ", ujar Syaikh tersebut.


Ternyata kita temukan kuncinya,
"Demikianlah kami uji mereka kerana sebab kefasikan mereka".

Nampaknya Allah hanya menguji kita mulai pada titik yang paling lemah. Mereka malas kerana pada hari Sabtu yang seharusnya digunakan untuk ibadah. Namun ikan datang, pada hari Jum’at jam 11.50 pagi.

Pada saat-saat panggilan da’wah dating, orang awam akan menyibukkan sang daie dengan berbagai cara. Tapi kalau mereka boleh mengatasinya dengan azam yang kuat, mereka akan seperti kapal pemecah ais. Bila tak bergerak, salji itu tak akan menolaknya ke tepi, tetapi ketika kapal itu maju, sang salju membiarkannya berlalu.

Kita harus menerobos segala hal yang pahit seperti anak kecil yang belajar puasa, kene tahan minum dulu sampai maghrib.

Kelezatan, kesenangan dan kepuasan yang tiada tara, kerana sudah berhasil melewati ujian dan cobaan sepanjang hari.

Iman dan Pengendalian Kesadaran Ma’iyatullah

Aqidah kita mengajarkan, tak satupun terjadi di langit dan di bumi tanpa kehendak ALLAH. ALLAH berkuasa menahan keinginan datangnya manusia-manusia yang akan menghalangi kewajiban da’wah. Apa mereka fikir manusia itu bergerak sendiri dan ALLAH lemah untuk mencegah mereka dan mengalihkan mereka ke waktu lain yang tidak menghalangi dakwah? Tanyakan kepada pakarnya, aqidah macam apa yang dianut seseorang yang tidak meyakini ALLAH menguasai segalanya? Mengapa mereka yang melalaikan tugas da’wahnya tidak berfikir perasaan sang isteri kerana yang keberatan ditinggalkan beberapa saat, juga sebenarnya batu ujian yang dikirim ALLAH, apakah ia akan mengutamakan tugas da’wahnya atau keluarganya yang sudah punya alokasi waktu ?


Kerana itu mari melihat dimana titik lemah kita. Yang lemah dalam berukhuwah, yang lemah dan segera ingin pergi meninggalkan kewajiban liqa’, syuro atau jaulah.

Bila mereka bersabar melawan rasa lemah itu, pertarungan mungkin hanya satu dua kali, selepas itu pasti akan dapat diatasi dan tinggal hari-hari kenikmatan yang luar biasa yang tak dapat diungkapkan

Bahkan orang-orang salih dimasa dahulu mengatakan "Seandainya para raja dan anak-anak raja mengetahui kelezatan yang kita rasakan dalam dzikir dan majlis ilmu, niscaya mereka akan merampasnya dan memerangi kita dengan pedang".

Sayang hal ini tidak bisa dirampas, melainkan diikuti, dihayati dan diperjuangkan. Berda’wah adalah nikmat, berukhuwah adalah nikmat, saling menolong dan menyelesaikan masalah da’wah bersama ikhwah adalah nikmat, andai saja boleh dikhayalkan oleh mereka mengunnakan modal usia yang ALLAH berikan dalam kemilau dunia yang menipu dan impian yang tak kunjung putus.

Ayat ini mengajarkan kita,
ujian datang di titik lemah. Siapa yang lemah pada kaum lawan jenis, seks dan segala yang sensual tidak diuji di bidang kewangan, kecuali ia juga lemah disitu. Yang lemah dibidang kewangan, jangan berani-berani memegang amanah kewangan. Yang lemah dalam takut kehilangan kawan,cintakan populariti, riya’ mungkin– dimasa ujian – akan menemukan orang yang tidak menghormatinya.

Yang lidahnya tajam dan berbisa mungkin diuji dengan tersalah kata. Yang lemah dalam kejujuran mungkin selalu terjebak perkara yang membuat dia hanya ‘selamat’ dengan berdusta lagi. Dan itu erti pembesaran bencana.

Kalau saja Abdullah bin Ubay bin Salul, calon pemimpin Madinah ikhlas menerima Islam sepenuh hati dan menerima bahwa dia tidak sekaliber Rasulullah SAW, niscaya tidak semalang itu nasibnya. Bukankah tokoh-tokoh Madinah makin tinggi dan terhormat, dunia dan akhirat dengan meletakkan diri mereka dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW ?

Ternyata banyak orang yang bukan hanya bakhil dengan harta yang ALLAH berikan, tetapi juga bakhil dengan ilmu, waktu, gagasan dan kesehatan yang seluruhnya akan menjadi beban tanggungjawab dan penyesalan.

Seni Membuat Alasan

Perlu kehati-hatian – sesudah syukur – kerana kita hidup di masyarakat da’wah yang mempunyai tingkat husnuzzhan yang sangat tinggi. Mereka yang cerdas tidak akan membodohi diri mereka sendiri dengan percaya kepada sangkaan baik orang kepada dirinya, sementara sang diri sangat faham bahwa ia tak berhak atas kemuliaan itu.

Gementar tubuh Abu Bakar RA apabila beliau disanjung. "Ya ALLAH, jadikan daku lebih baik dari yang mereka sangka, jangan hukum daku lantaran ucapan mereka dan ampuni daku kerana ketidaktahuan mereka", demikian ujarny.

Dimana posisi kita dari kebajikan Abu Bakr Shiddiq RA ? "Alangkah bodoh kamu, percaya kepada sangka baik orang kepadamu, padahal engkau tahu betapa diri jauh dari kebaikan itu", demikian kecaman Syaikh Harits Almuhasibi dan Ibnu Athai'Llah.

Diantara nikmat ALLAH ialah sitr (penutup) yang ALLAH berikan para hamba-Nya, sehingga aibnya tak dilihat orang. Namun pelamun selalu mengkhayal tanpa mau merubah diri. Demikian mereka yang memanfaatkan lapang hati komunitas da’wah tumbuh dan menjadi tua sebagai seniman maaf, "Afwan ya Akhi".

Tetapi ALLAH-lah Yang Memberi Mereka Kurnia Besar

Kelengkapan Amal Jama’i tempat kita ‘menyumbangkan’ karya kecil kita, memberikan arti bagi eksistensi ini. Kebersamaan ini telah melahirkan kebesaran bersama. Jangan kecilkan makna kesertaan amal jama’i kita, tanpa harus mengiklankan yang kita telah berjasa kepada Islam dan da’wah. "
Mereka membangkit-bangkitkan (jasa) keislaman mereka kepadamu. Katakan : ‘Janganlah bangkit-bangkitkan keislamanmu (sebagai sumbangan bagi kekuatan Islam, (sebaliknya hayatilah) bahwa ALLAH telah memberi kamu kurnia besar dengan membimbing kamu ke arah Iman, jika kamu memang jujur" (Qs. 49;17).

ALLAH telah membawa kita kepada keimanan dan da’wah. Ini adalah kurnia besar.

Saling mendo’akan sesama ikhwah telah menjadi ciri kemuliaan peribadi mereka dan melebihkan doa dari jauh. Selain ikhlas dan cinta , tiadalah motivasi lain bagi saudara yang berdoa itu kecuali ALLAH akan mengabulkannya dan malaikat akan mengamininya, seraya berkata : "Untukmu pun hak seperti itu", seperti pesan Rasulullah SAW.

Cukuplah kemuliaan ukhuwah dan jamaah bahwa para nabi dan syuhada iri kepada mereka yang saling mencintai, bukan didasari hubungan kekerabatan, semata-mata iman dan cinta fi'Llah.

Ya ALLAH, kami memohon cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu dan cinta kepada segala yang akan mendekatkan kami kepada cinta-Mu.[]

0 comments: