Jadikan tulisan dalam buku ini sebagai bahan instrospeksi, menilai diri sendiri untuk memperbaiki kadar ukhuwah dan menunaikan hak ukhuwah saudaraku. Jangan jadikan tulisan dalam buku ini sebagai bahan untuk menilai sahabat-sahabat Anda, karena jika itu dilakukan, Anda pasti akan lebih memilih untuk ‘uzlahatau menyendiri. Wallahu’alam.

------------ --------- --------- --------- --------- --------- --------- --------- --------- --------- --------- --------- --------- ----

Abu ‘Ashim Hisyam bin Abdul Qadir ‘Uqdah

Mencintai sesama mukmin dan mengikat tali ukhuwah (persaudaraan) merupakan suatu perbuatan yang amat mulia dan sangat penting. Allah SWT menyatakan persaudaraan sebagai sifat kaum mukminin dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, seperti dalam firman-Nya :


إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”

(Al Hujuraat : 10)


Persaudaraan yang terjalin di antara kaum mukmin sesungguhnya merupakan anugrah nikmat yang sangat besar dari Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya :

وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

“Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara” ( Ali Imran : 103)


هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ . وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan- Nya dan dengan para mu’min, dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka”

( Al-Anfaal : 62-63)


Seiring perjalanan waktu, tali ukhuwah yang telah terjalin terkadang bisa mengendur, bahkan putus sama sekali dikarenakan virus-virus yang berjangkit di hati, antara lain :


1. Tamak akan kenikmatan dunia

Banyak kasus dua orang sahabat yang saling mencintai dengan tulus sehingga masing-masing merasa berat untuk berpisah dari kawannya, tiba-tiba sikap mereka berubah ketika tergiur dengan gemerlap dunia dan berlomba-lomba untuk mendapatkannya. Apa yang akan kita lakukan seandainya ada peluang rizki di mana kita dan saudara kita sama-sama membutuhkan? Sering terjadi dua orang sahabat saling bersaing, saling jegal demi mendapatkan satu pekerjaan. Di sinilah sifat itsar (mendahulukan saudara) kita diuji.

Sebaik-sebaik sifat itsar adalah yang seperti dilakukan oleh kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin sebagaimana diabadikan dalam Al Hasyr : 9 berikut ini.


وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Al-Hasyr:9)


2. Tidak santun dalam berbicara

Hal ini merupakan pintu yang paling leluasa bagi setan untuk masuk menebar bibit-bibit perselisihan dan permusuhan di antara sahabat. Banyak yang beranggapan, hubungan istimewa yang terjalin dengan sahabatnya membebaskannya dari tutur kata yang sopan.

Contoh gaya bicara kepada saudara kita yang harus dihindari adalah :


a. Berbicara dengan nada suara tinggi dan menggunakan kata-kata kasar

Di dalam Al Qur’an, Allah mengisahkan wasiat Luqman dalam mendidik anaknya :

وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

“Dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai” (Luqman : 19).


Ali bin Abu Thalib berkata : “barangsiapa lembut tutur atanya, niscaya manusia suka dengannya”.


b. Tidak mendengar saran saudaranya, enggan menatap ketika berbicara atau memberi salam, tidak menghargai keberadaannya.

Seorang ulama salaf berkata : “Ada orang yang memberitahuku tentang suatu hadits, padahal saya telah mengetahuinya sebelum ia dilahirkan, namun kesopanannya mendorongku untuk tetap mendengarnya hingga selesai.”


Kemuliaan akhlak Rasulullah membawa beliau untuk tetap mndengar dan tidak memotong kata-kata seorang musyrik bernama ‘Utbah. Ketika berhenti, Rasulullah bertanya kepadanya : “Apakah engkau sudah selesai, hai Abul-Walid (panggilan ‘Utbah)?”


c. Bercanda secara berlebihan

Canda ringan dalam batas kesopanan dan tidak keluar dari ruang lingkup yang benar akan menambah kelenturan dan kehangatan hubungan ukhuwah. Sebaliknya, canda yang berlebihan dan melampaui batas kesopanan akan mempercepat kehancuran ukhuwah.


d. Sering mendebat dan membantah

Sering mendebat dan membantah diikuti oleh dampak begatif lainnya seperti menganggap unggul ide, sering mengkritik ide sahabat, sok tahu, menggunakan kata-kata pedas yang bernada merendahkan pemahaman, cara berpikir, dan kekuatan penguasaannya terhadap suatu masalah. Sesungguhnya salah satu faktor paling signifikan yang dapat memicu rasa benci dan dengki antara sahabat adalah kebiasaan berselisih/berbanta h-bantahan yang seringkali tanpa didasari oleh ketulusan dalam upaya mencari kebenaran. Perselisihan juga terkadang menjebak keduanya dalam pembicaraan mengenai masalah yang masih samar, tanpa dalih argumen yang jelas. Perselisihan juga mendorong salah seorang di antara kedua sahabat tersebut terus berbicara, kendati tiada hasil yang dicapai, selain memperburuk hubungan dan mengubah sikap. Sabda Rasulullah :


إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ

Sesungguhnya orang yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang sangat keras kepala dan suka membantah” (HR. Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Tirmidzi, Ahmad)


مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ

“Tiada kaum yang menjadi sesat setelah mendapat petunjuk kecuali karena mereka suka saling berbantah-bantahan” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah)


أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا

“Aku adalah penghulu (kepala) rumah di taman surga – yang diperuntukkan – bagi orang-orang yang menghindari perdebatan (perselisihan) , sekalipun dalam posisi yang benar” (HR. Abu Dawud)


e. Kritikan keras yang melukai perasaan

Salah satu faktor yang dapat merusak suasana pembicaraan dan hubungan ukhuwah adalah menyerang dengan kritikan bernada keras atau kritikan yang tidak argumentatif. Seperti ungkapan : “Semua yang kamu katakan adalah salah, tidak memiliki dalil yang menguatkan.” Atau : “Kamu berseberangan dengan saya.”


Jika antum seorang yang beretika baik, seharusnya yang antum katakan adalah : “Beberapa sisi dalam pendapatmu itu perlu dipertimbangkan lagi”, “Menurut hemat saya….”, “Saya mempunyai ide lain, harap antum menyimaknya dan memberi penilaian”, dan ungkapan-ungkapan serupa lainnya.


3. Sikap Acuh/tidak care atau cuek

Ukhuwah yang tidak dihiasi dengan kehangatan perasaan dan gejolak rindu, adalah ukhuwah yang kering. Ia akan segera gugur dan luntur.

Imam Ahmad dalam bukunya az-Zuhd dan Ibnu Abi Dunya dalam bukunya al-Ikhwan, menceritakan bahwa pada suatu malam Umar bin Khaththab teringat kepada seorang sahabatnya, dan ia terus bergumam lirih : “Mengapa malam ini terasa begitu panjang.” Maka setelah menunaikan shalat Subuh, Umar segera menemui sahabatnya itu dan memeluknya dengan erat. Subhanallah…..Itulah perasaan yang membuat seseorang merindukan saudaranya, sehingga berangan-angan agar tidak berpisah darinya, baik di dunia maupun di akhirat.


Berempati atas semua musibah dan penderitaan yang dialami saudara atau sahabat serta memperhatikan keperluan-keperluan nya merupakan salah satu hal yang bisa mempererat ukhuwah. Seorang ulama salaf berkata : “Jika seekor lalat hinggap di tubuh sahabatku, aku benar-benar tidak bisa tinggal diam (Abu Hayyan at-Tauhidi, al-Mukhtar minash Shadaqah wash-Shadiq, hlm. 143).


Perasaan yang tulus juga akan mendorong seseorang untuk mendoakan sahabatnya ketika berpisah dan menyebut namanya dalam waktu-waktu terkabulnya do’a.

Sabda Rasulullah :

“Doa seorang muslim untuk kebaikan saudaranya yang dilakukan dari kejauhan, niscaya akan dikabulkan”.(HR. Muslim, Ibnu Majah, Ahmad)


4. Mengadakan Pembicaraan Rahasia

إِنَّمَا النَّجْوَى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آَمَنُوا

“Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari setan, agar orang-orang yang beriman itu berduka cita”(Al-Mujadilah : 10)


Dalam riwayat Ibnu ‘Umar ra dinyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda :

إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الثَّالِثِ إِلَّا بِإِذْنِهِ فَإِنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُهُ

“Jika kamu bertiga, maka janganlah dua di antara kamu membuat pembicaraan rahasia , kecuali jika orang ketiga mengizinkan, karena perbuatan itu dapat membuatnya sedih”. (Ahmad)


5. Keras kepala, enggan menerima nasihat dan saran

Sikap keras kepala dan enggan mnerima nasihat, membuat seorang sahabat merasakan adanya dinding pemisah antara diri antum dan dirinya. Ia merasa sulit untuk terbuka dalam setiap pembicaraan dengan antum, bahkan -mungkin- menganggapmu sombong.

Rasulullah saw sering didatangi oleh para sahabat dan istri-istri beliau untuk memberikan ide dan saran dalam berbagai hal. Beliau mau menerima dan menuruti saran mereka dengan senang hati, sekalipun dalam bentuk pernyataan keberatan, kritik, atau sekedar pertanyaan.


6. Sering membantah, berbeda sikap dan bersikap sombong dan kasar

Untuk menambah kehangatan ukhuwah, dua orang yang bersahabat mesti memiliki beberapa kesamaan sifat, kebiasaan, dan watak. Pepatah mengatakan : “Burung-burung bergerombol dengan sesama jenisnya.”

Malik bin Dinar berkata : “Dua insan tidak akan terikat dalam jalinan ukhuwah, kecuali jika masing-masing memiliki sifat yang sama dengan sahabatnya.”


Karena itu, betapa banyak orang yang berjumpa sekilas dalam perjalanan, kemudian berubah menjadi teman yang sangat dekat. Hal tersebut biasa terjadi karena antum menemukan beberapa kesamaan perasaan, kesenangan, pemahaman, dan ide.

Di antara faktor yang dapat menambah keakraban ukhuwah sekaligus menjaganya dari kehancuran adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan beberapa kebiasaan sahabat. Sebaliknya, sering berseberangan dengan sahabat dapat mengurangi keakraban. Tetapi tentunya semua itu dilakukan dengan syarat tidak melanggar aturan syari’at agama.


Terhadap saudara atau sahabat, kita juga harus bersikap lembut dan tidak sombong. Anas bin Malik, pelayan Rasulullah saw pernah menceritakan tentang kelemah-lembutan Rasulullah. Kata beliau : “Aku menjadi pelayan Rasulullah saw selama 10 tahun, dan selama itu beliau tidak pernah mengeluh atau mengomentari pekerjaanku, seperti mengatakan, ‘Kenapa kamu lakukan ini?’, juga tidak pernah berkomentar ketika aku tidak melakukan sesuatu, seperti mengatakan ‘Kenapa kamu tidak melakukan ini?’.


7. Memberi teguran di depan orang lain

Salah satu hak ukhuwah terhadap saudara kita adalah memberi nasihat apabila ia melakukan kemungkaran, maksiat atau kesalahan, dengan tujuan agar ia kembali pada kebenaran sekaligus terhindar dari ancaman kemurkaan dan siksa Allah SWT.


Namun demikian, nasihat tidak boleh dilakukan secara terbuka di tengah keramaian umum, kecuali dengan alasan yang mendesak, karena merupakan sifat manusia, dia tidak suka jika keburukan-keburukan nya dibuka di depan umum. Lebih dari itu, menasihati atau menyebut kesalahan seseorang di muka umum merupakan penyebab cepat pudarnya rasa cinta dan mudah tertananam bibit-bibit permusuhan karena merasa dicemarkan dan dihina, juga dapat menimbulkan sifat keras kepala dan nafsu untuk membalas dendam.


Lain halnya bila seseorang dikritik atau dinasihati dalam keadaan menyendiri, ia akan lebih menerima, mampu memahami permasalahan dengan jelas, dan tertarik kepadamu karena merasa telah diberi pertolongan dan diingatkan akan kesalahan yang telah dilakukan.

Terkadang ada orang yang memberi nasihat ingin melihat hasil dari usahanya secepat kilat, sehingga berharap agar orang yang dinasihatinya berubah seketika. Jika tidak demikian, ia berasumsi bahwa nasihatnya telah gagal, atau terus berupaya menekan orang yang dinasihati, sehingga lebih mirip sebuah pemaksaan kehendak daripada menasihati. Ia juga beranggapan bahwa orang yang dinasihati itu tidak mengerti nasihat yang diberikannya, atau belum menerima nasihat itu. Pandangan seperti itu adalah tidak benar, karena sudah menjadi tabiat umum manusia, mereka enggan mengakui kesalahan secara langsung, melainkan membutuhkan rentang waktu untuk berpikir, atau mencari kesempatan untuk kembali.


8. Sering menegur, tidak toleran dan cenderung negative thinking serta enggan memaafkan

Sikap sering menegur dan menekan sahabat dapat mengakibatkan terpuruknya tali ukhuwah, karena sahabatmu beranggapan bahwa Anda tidak dapat menerima kekurangannya sekecil apapun, atau menganggapmu selalu diliputi prasangka buruk terhadapnya. Jika Anda terus menggunakan cara bergaul seperti ini, tentu Anda tidak akan mendapatkan seorang sahabat yang bebas dari kekurangan. Artinya, Anda tidak akan pernah bisa menjalin ukhuwah.


Dalam memilih teman atau sahabat, kita perlu menentukan kriteria ideal, misal : akhlaqnya bagus, karena kita memang dianjurkan untuk bergaul dengan orang-orang yang shalih. Akan tetapi perlu diingat juga bahwa tidak ada sahabat yang bebas dari kekurangan, sebagaimana Anda pun tidak lepas dari kekurangan. Maka terimalah kekurangannya sebagaimana ia menerima kekuranganmu. Fudhail bin ‘Iyadh berucap : “Siapa mencari sahabat tanpa cacat, niscaya sepanjang hidupnya tidak mendapat sahabat.”


Salah satu ciri ukhuwah yang tulus lainnya adalah suka memaafkan dan lapang dada terhadap kesalahan. Hasan bin Wahb berkata : "Di antara hak-hak ukhuwah adalah memaafkan kesalahan sahabat dan terbuka atas segala kekurangannya.” Suatu kesalahan yang dilakukan oleh sahabat tidak boleh menjadi alasan untuk menjauhi atau putus darinya. Rasulullah saw bersabda :


لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

“Penyambung persaudaraan bukanlah orang yang membalas kebaikan yang pernah diterimanya, namun penyambung persaudaraan adalah yang diputus hubungannya, lalu dia menyambungnya kembali.” (Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi)


Dalam untaian bait puisinya, Imam Syafi’i berkata :


Ketika aku memaafkan dan tidak menyimpan iri di hati

Jiwaku tenteram bebas dari tekanan rasa permusuhan

Kuucapkan salam di saat berjumpa lawan

Agar manahan bibit permusuhan

Dengan ucapan salam

Kutampakkan wajah berseri kepada orang yang kubenci

Seakan berbunga hatiku penuh kecintaan

Manusia adalah penyakit

Penawarnya dengan cara mendekati

Jika menjauhi berarti mengabaikan cinta sejati


Jika sahabatmu menyakiti atau berbuat kesalahan kepadamu, maka sikapilah dengan lapang dada dan maafkanlah jika sanggup memafkannya dengan penuh ketulusan. Namun jika tidak, tegurlah dengan baik, seperti yang dianjurkan oleh Abu Darda’ ra : “menegur saudaramu atasa kesalahannya adalah lebih baik, daripada harus berpisah. Adakah yang sanggup menunjukkan kepadamu seorang sahabat yang sempurna?”


9. Mudah percaya hasutan orang-orang yang mendadu domba dan memendam dengki

Merupakan kesalahan besar jika Anda mudah mempercayai isu yang berkembang mengenai sahabatmu, atau menuduhnya telah melakukan perbuatan yang menyakitkan, hanya berdasarkan kepada kabar burung dan isu yang diterima. Waspadalah, karena banyak orang yang dengki kepada orang-orang yang terikat dalam jalinan ukhuwah. Para pendengki tersebut mempunyai kecemburuan yang sangat tinggi. Mereka tidak suka melihat hubungan tulus yang begitu kuat mengikat hubungan orang2 yang bersahabat, mereka tidak tenang selama tali ukhuwah tersebut belum tercerai-berai.


Oleh karena itulah, orang2 yang dipertemukan oleh Allah SW dalam sebuah jalinan ukhuwah harus yakin bahwa satu sama lainnya saling mencintai karena Allah, saling mencintai dengan penuh ketulusan yang muncul dari nurani yang paling dalam. Dengan demikian, sekuat apapun para pendengki memusuhi, tetap tidak akan mampu menggoyahkan kokohnya konstruksi ukhuwah.

Firman Allah SWT :


وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“dan -Allah- yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman)[622] . walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha gagah lagi Maha Bijaksana”.(Al Anfal : 63)


10. Membuka Rahasia

Salah satu faktor yang dapat mempertahakankan ukhuwah adalah menjaga rahasia sahabat agar tidak tersebar. Rasulullah saw bersabda :


إِذَا حَدَّثَ الرَّجُلُ بِالْحَدِيثِ ثُمَّ الْتَفَتَ فَهِيَ أَمَانَةٌ

“Jika seseorang diberitahu oleh sahabatnya mengenai suatu hal, lalu ia pergi, maka hal tersebut telah menjadi amanat (rahasia yang harus dijaga) baginya.”

(Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad)


Sebagian ulama membuat ilustrasi mengenai sahabat yang membawa malapetaka jika dekat dengannya, yaitu orang yang jika dekat, ia berusaha mengetahui rahasia, mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan kita, memperhatikan kesalahan dan kekurangan, menghitung kesalahan-kesalahan kecil yang tidak disengaja, menghafal saat-saat kita tergelincir ucapan atau perbuatan spontan dalam keadaan biasa maupun sedang marah, atau di dalam pembicaraan terbuka dan lepas yang siapapun sulit terhindar dari kelalaian, kemudian ia menjadikan semua itu sebagai senjata untuk menjatuhkan sahabtanya di kala terjadi perselisihan”. Semoga kita semua terhindar menjadi sosok sahabat yang seperti ini. Naudzubillah mindzalik.


11. Mengikuti prasangka

Mempunyai prasangka bahwa sahabatmu menyembunyikan sesuatu darimu juga dapat menyakitinya. Apalagi jika Anda sudah membangun sikap-sikap tertentu berdasarkan prasangka tersebut. Selain bisa menyakitinya, hal ini juga betul-betul akan menyakiti dirimu sendiri, karena prasangka buruk dapat merusak ketulusan perasaan hatimu terhadapnya.


Oleh karena itu, ketulusan hati dan prasangka baik (husnuzhzhan) merupakan salah satu faktor yang dapat mempertahankan hubungan ukhuwah.

Dengan alasan tersebut Allah dan Rasul-Nya melarang kita berburuk sangka (su’udzdzan) dan mengikutinya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” ( Al-Hujuraat : 12)


Sabda Rasulullah :

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ

“Hindarilah prasangka (buruk), karena prasangka (buruk) adalah ucapan yang paling dusta.” (Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad)


Prasangka buruk dapat mendorong kepada perbuatan tajassus (mencari-cari kesalahan) yang dilarang oleh agama. Juga dapat mendorong untuk menjelek-jelekkan sahabat. Betapa jauh dari cinta dan makna ukhuwah, orang yang jika marah terhadap sahabatnya, ia langsung berprasangka buruk atau mengejeknya di hadapan orang lain.


12. Mencampuri masalah pribadi

Termasuk dalam hal mencampuri urusan pribadi adalah mencari-cari kesalahan, mencuri pendengaran, serta turut campur dalam masalah yang tidak ada gunanya bagi kita.

Sabda Rasulullah :


وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا

“Jangan mencari-cari kesalahan (tajassus), mencuri pendengaran (tahassus), saling bermusuhan dan saling menjauhi. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad)


مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ

“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak berguna baginya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah)


Dalam sirah sahabat Nabi dikisahkan, ada seorang sahabat Nabi yang sakit. Ketika para sahabat dan kerabat menjenguknya, mereka merasa heran ketika melihat wajah sahabat yang sakit tersebut begitu ceria. Lalu mereka bertanya mengenai sebab keceriaannya. Ia menjawab : “ Ada dua amalan yang benar-benar kuyakini pahalanya sangat besar, yaitu aku tidak pernah berbicara mengenai hal-hal yang tidak berguna, dan hatiku bersih dai segala perasaan kotor terhadap sesama kaum muslim.”


13. Egois, arogan, tidak berempati dengan penderitaan saudara dan tidak memperhatikan masalah serta kebutuhannya

Suatu pelajaran yang indah dapat kita petik dari cerita Harun bin Abdillah ra ketika ia berkata : “Pada suatu saat, Ahmad bin Hambal mengunjungiku di tengah malam. Kudengar pintu diketuk, maka aku bertanya : “Siapa di luar sana ?” Ia menjawab : “Aku, Ahmad”. Segera kubuka pintu dan menyambutnya. Aku mengucapkan salam dan ia pun demikian. Lalu aku bertanya : “Keperluan apakah yang membawamu kemari?” Ahmad menjawab : “Siang tadi, sikapmu mengusik hatiku.” Aku bertanya : “Masalah apakah yang membutmu terusik, wahai Abu Abdillah?” Ahmad menjawab : “Siang tadi aku lewat di samping halaqoh-mu, ketika engkau sedang mengajar murid-muridmu, engkau duduk di bawah bayang-bayang pohon sedangkan murid-muridmu secara langsung terkena terik matahari dengan tangan memegang pena dan catatan. Jangan kau ulangi perbuatan itu di kemudian hari. Jika engkau mengajar maka duduklah dalam kondisi yang sama dengan murid-muridmu.”


Dalam kisah di atas, setidaknya ada dua catatan yang layak direnungkan.

1. yang bercerita bukan pihak yang memberi nasihat, melainkan orang yang dinasihati dan ia tergugah dengan nasihat tersebut,

2. kelembutan dan kehalusan gaya nasihat Imam Ahmad. Ia menyampaikannya secara sembunyi di tengah malam, dengan menggunakan kata-kata “Sikapmu mengusik hatiku”, benar-benar suatu ungkapan yang lembut. Ia tidak mengatakan, misalnya “Kamu telah menyakiti manusia….”


Faktor lain yang dapat memperkokoh ukhuwah adalah berempati terhadap penderitaan saudara dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan nya.

Sabda Rasulullah :

وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Siapa yang mencukupi kebutuhan saudaranya, niscaya Allah mencukupi kebutuhannya Siapa yang menolong seorang mukmin dari suatu kesusahan, niscaya Allah akan menolongnya dari salah satu kesusahan pada hari kiamat. Siapa yang menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah menutupi aibnya pada hari kiamat.”

(HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad)


Dalam hal mencukupi kebutuhan saudara kita;

- Skala paling rendah adalah sebatas mencukupi kebutuhannya ketika diminta dan kita mampu, dan bantuan tersebut diberikan dengan syarat hati merasa senang dan bahagia.

- Skala pertengahan adalah mencukupi kebutuhannya tanpa ia minta.

- Skala yang tertinggi adalah mengutamakan kebutuhan saudara kita daripada kebutuhan kita sendiri.


Sahabat di saat senang selalu banyak jumlahnya # namun ketika susah hanya sedikit yang tersisa

Maka jangan terpedaya dengan kebaikan seorang sahabat # namun ketika musibah menimpa tiada yang mengiba

Semua sahabat menyatakan dirinya setia # namun tidak semua berbuat seperti ucapannya

Kecuali sahabat yang penuh derma dan taat agama # itulah sahabat yang berbuat sama dengan kata-katanya


14. Menutup diri, berlebihan, membebani dan menghitung-hitung kebaikan

Jika Anda ingin membuat hati seorang sahabat menjadi senang dan bersikap terbuka apa adanya, maka hindarilah menutup diri dan jangan membuatnya merasa terbebani, jangan menghitung-hitung kebaikannya kepadamu, jangan memberatkannya agar melayanimu, dan bersikaplah rendah hati.

Dalam hal ini, cara pandang yang paling baik adalah kamu menganggap dirimu lebih layak melayani daripada dilayani, dengan demikian kamu cenderung menganggap dirimu sebagai pelayan. Barangkali Umar bin Khaththab adalah sosok yang bisa dijadikan contoh. Beliau berbuat baik kepada siapa saja, tidak hanya sahabat dekat, melainkan juga budak-budaknya.


Menurut Aslam, salah seorang pelayan Umar, pada suatu malam terkejut mendapati Umar sedang mengurus kuda-kuda pelayannya dan kudanya sendiri, seraya melantunkan puisi :


Jangan biarkan malam ini membuat hatimu resah

Hiasilah ia dengan sehelai baju dan sorban

Jadilah sahabat baik bagi Naif dan Aslam

Layanilah mereka


15. Enggan mengungkapkan perasaan cinta, enggan membela sahabat ketika aibnya disebut


Tentang menyatakan cinta pada saudara Rasulullah bersabda:

“Jika seorang di antara kamu mencintai saudarnya karena Allah, maka kabarkanlah kepadanya, karena hal itu dapat mengekalkan keakraban dan memantapkan cinta.”


Di antara hak ukhuwah adalah membela dan mempertahankan nama baik sahabat. Rasulullah bersabda :

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak boleh menzhalimi dan menyerahkannya.” (Bukhari, Ahmad)


16. Melupakannya karena sibuk mengurusi orang lain dan kurang setia

Di antara gambaran akhlaq buruk dalam berukhuwah adalah ketika kita mendapatkan seorang sahabat baru lantas meninggalkan sahabat yang telah kita kenal dalam jangka waktu lama. Salah satu penyebab kekecewaan sahabat adalah ketika ia berusaha sekuat tenaga untuk dekat denganmu dan selalu mengutamakanmu dari siapapun juga, ia justru mendapatimu tidak setia dan tidak menghargainya.


Tidak setia terhadap sahabat juga dapat memutuskan tali ukhuwah. Tanda-tanda kesetiaan terhadap sahabat di antaranya adalah :

- berdoa untuknya dari kejauhan, baik selama ia hidup atau setelah kematiannya, berbuat baik kepada orang yang dicintainya juga keluarganya.

- konsiten dengan sikap tawadhu’ (rendah hati) terhadap sahabat, sekalipun kedudukan ataupun ilmu Anda lebih tinggi darinya.


17. Mengingkari janji dan kesepakatan tanpa alasan yang jelas

Sifat buruk ini akan menumbuhkan anggapan dalam diri sahabat Anda bahwa Anda tidak memperhatikannya, karena orang yang mengingkari janji atau kesepakatan berarti telah meninggalkan sesuatu yang dianggap kurang penting demi meraih sesuatu yang dianggap lebih pening. Alasan ini sudah cukup kuat untuk membuat sahabatmu sedih, menodai cinta dan merusak ukhuwah.


18. Selalu menceritakan perkara yang menyedihkan dan suka menyampaikan berita yang membuat resah

Ibnu Hazm ra bekata : “Jangan sampaikan beritayang membuat saudaramu sedih atau tidak bermanfaat baginya, karena itu adalah perbuatan orang-orang kerdil. Dan jangan menyembunyikan berita yang bisa membahayakannya jika ia tidak tahu, karena itu merupakan pekerjaan orang-orang jahat.”


Yahya bin Mu’adz berkata : “Jadikanlah tiga hal berikut ini sebagai sikapmu terhadap orang-orang mukmin; jika tidak bisa memberi manfaat, maka jangan membahayakannya; jika tidak bisa membahagiakannya, maka jangan membuatnya sedih; Jika tidak memujinya, maka jangan mencacinya.”


19. Terlalu cinta

Maksudnya adalah menghindari hal-hal yang berlebihan, seprti ketergantungan atau rasa suka terhadap sahabat, membebani diri dengan beban yang terlalu berat dalam upaya melayani atau mendekatinya.

Rasulullah saw bersabda :


“Cintailah kekasihmu sesederhana mungkin, siapa tahu ia menjadi musuhmu pada suatu saat nanti. Dan bencilah musuhmu sesederhana mungkin, siapa tahu ia menjadi sahabat dekatmu pada suatu saat nanti.”(Bukhari, Tirmidzi)

Abul-Aswad berkata :

Cintailah kekasihmu dengan cinta yang sederhana

Karena kamu tidak tahu kapan ia menjauhimu

Jika harus benci, maka bencilah

Tapi jangan menjauhi

Karena kamu tidak tahu

Kapan harus kembali


Mencintai sahabat secara berlebihan malah akan melemahkan persahabatan. Lebih baik cinta yang terus merangkak namun menanjak daripada cinta yang melonjak namun lekas surut. Namun demikian, jadikanlah cintamu kepada sahabat lebih besar dari cintanya kepadamu, agar mendapat fadhilah (keutamaan) dari Allah melalui sabda Rasul-Nya :


“Tidaklah dua orang yang saling mencintai karena Allah, kecuali orang yang lebih besar cintanya adalah yang lebih utama di antara keduanya.” (Bukhari)


Jadikan tulisan dalam buku ini sebagai bahan instrospeksi, menilai diri sendiri untuk memperbaiki kadar ukhuwah dan menunaikan hak ukhuwah saudaraku. Jangan jadikan tulisan dalam buku ini sebagai bahan untuk menilai sahabat-sahabat Anda, karena jika itu dilakukan, Anda pasti akan lebih memilih untuk ‘uzlah atau menyendiri. Wallahu’alam.


*Bukan ana yang type, ana copy paste je dari http://www.al-ikhwan.net/duri-duri-yang-merusak-ukhuwah-3576/ *

TARBIYAH FARDIYAH

Definisi dan urgensi
Tarbiyah Fardiyah adalah peranan dan tugas individu dalam konteks amal Islami, dengan kemestian melakukan interaksi sosial yang bersifat individu untuk memperolehi satu tujuan dan objektif dengan unsur-unsur pendekatan yang baru, diluar kelaziman pelaksanaan Tarbiyah Jama’iyyah pada umumnya seperti halnya dalam bentuk halaqah. Unsur-unsur pendekatan dalam Tarbiyah Fardiyah diusahakan agar seseorang pada awalnya tertarik dengan fikrah Islam melalui proses Tarbiyah dan Takwin, kemudian setelah itu mengajaknya terlibat lebih jauh lagi dalam amal dakwah. Dalam hal ini kebebasan diberikan pada siapa saja yang ingin menjalankan misi Tarbiyah Fardiyah untuk memanfaatkan seoptimal mungkin seluruh akses (Relasi) dan prakeadaan untuk melakukan penembusan fikrah dan mengupayakan objek dakwah (Mutarabbi Fardy) dengan fikrah-fikrah yang ditawarkan kepadanya.

Maka sejauh mana kepentingan Tarbiyah Fardiyah dalam konteks amal islami? Ikhwah Fillah, sesungguhnya amal Islami tidak dapat berjalan kecuali dengan satu proses dan cara sebagaimana yang telah dilalui dan dijalankan oleh para Rasul ‘alaihimussholaatu wassalaam melalui media tarbiyah yang digerakkan untuk menyingkap dan mengenali hakikat agama ini (Al-Islam) secara menyeluruh. Berkata Imam Hasan Al-banna : “Sesungguhnya Manhaj Ikhwanul Muslimin wujud dalam pembatasan marhalah dengan kejelasan langkah-langkahnya, maka kita tahu sebenarnya apa yang kita inginkan, dan juga kita tahu wasilah yang dapat merealisasikan keinginan – keinginan itu”.

Landasan dan prinsip-prinsipnya
Tarbiyah fardiyah dilihat dari kewajibannya secara hukum, dapat difahami dari bentuk-bentuk sasaran firman Allah SWT yang diarahkan secara eksplisit kepada setiap individu muslim, juga arahan nabi yang menuju kepada hal yang sama, semua itu adalah Taklif yang memperkuat kemestian adanya rasa tanggungjawab pada setiap individu muslim untuk mengembangkan tugas dakwah islamiah, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Fusshilat : 33, As-Syura : 15, dan An-Nahl ; 125.

Adapun hadits Rasulullah SAW yang dapat dijadikan landasan syar’i Tarbiyah Fardiyah adalah hadits riwayat Muslim dari Abu Said Al-Khudry ; “Barang siapa yang melihat kemungkaran, hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak boleh dengan lisannya, jika tidak boleh dengan hatinya dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman”. Juga dalam hadits riwaayat Muslim lainnya : “Barang siapa yang menunjukan kepada kebaikan maka baginya pahala sebesar pahala orang yang mengerjakannya”.

Berkaitan dengan tarbiyah fardiyah Imam Hasan Al-banna mengingatkan kita bahawa kewajiban Tarbiyah Fardiah adalah kewajiban untuk bersungguh-sungguh dalam beramal, dengan menempuh proses “Takwin ba’da Tanbih” (Pembentukan setelah pengarahan) dan “Ta’sis ba’da Tadris” (Pemantapan atau pengokohan setelah pengajaran).

Terdapat enam prinsip untuk melancarkan efisiensi dan efektifitas tarbiyah fardiyah :

Pertama : Al-Manhaj As-salim, iaitu konsep yang benar, yang mampu mencetak peribadi dan generasi islami, konsep yang terpadu dan menyeluruh meliputi aspek-aspek tarbiyah fikriyah, ruhiyah dan akhlakiah.

Kedua : Al-qudwah al-hasanah, yaitu dalam hal ketaqwaan, kewarakan dan pengamalan ilmunya.

Ketiga : Al-bi’ah As-sholehah, iaitu dengan menyediakan suasana dan iklim yang sesuai untuk setiap individu, khususnya pada masa-masa memasuki tahapan pembentukan pertama.

Keempat : At-Tajarrud, iaitu totaliti (totality) seorang Murabbi yang mengembang misi dakwah dalam rangka membentuk keperibadian individu muslim dan memfokuskan hal itu.

Kelima : Tadarruj, yaitu seorang Murabbi dalam konteks Tarbiyah fardiyah hendaknya memperhatikan tahapan-tahapan logik, seperti memberikan penekanan pada masalah-masalah aqidah sebelum masalah Ibadah , masalah Ibadah sebelum konsep kehidupan yang lebih luas, ringkasnya adalah “Kulliat Qobla Juziyyat” .

Keenam : Arrifqu wallin, sikap lembut dan halus adalah wasilah dalam mentarbiyah, oleh kerananya hendaklah bersabar atas segala kegagalan dan kesalahan sampai datangnya satu masa di mana buah dari kesabaran itu akan tampak membuahkan hasilnya.

Wasilah dan keistimewannya
Adapun wasilah tarbiyah fardiyah banyak jenisnya yang dapat digunakan secara bertahap sesuai dengan tahapan pendekatan Murabbi terhadap individu mad’unya. Dalam bentuk tatap muka misalnya (Liqo’), seorang Murabbi tarbiyah fardiah boleh memanfaatkan pertemuan dengan membaca al-Qur’an, mengkaji hadith atau sirah, pertemuan tersebut sedapat mungkin dicarikan waktu dan tempatnya yang sesuai, boleh juga memanfaatkan pertemuan di Halaqah (ta’lim) Masjid, seminar Ilmiah, atau dengan mengajaknya ke rumah untuk makan, dalam bentuk yang lebih sederhana wasilah Tarbiyah fardiah boleh dengan menghadiahkan sebuah buku yang bermuatkan fikrah Islam, sehingga pada pertemuan berikutnya boleh didiskusikan hasil dari bacaan buku tersebut. Semua hal tersebut di atas adalah sebahagian dari wasilah-wasilah tarbiyah fardiyah. Adapun selebihnya seorang murabbi dengan kecerdasaannya dapat mengeksplorasi dan mengembangkan wasilah-wasilah lainnya lebih banyak lagi.

Tarbiyah fardiyah bila dijalankan sesuai dengan manhajnya maka ia akan menjadi wasilah yang paling efektif, paling kuat pengaruhnya, dan paling terjamin kualitinya terhadap individu mad’u, keistimewaan Tarbiyah Fardiyah terletak pada fokus perhatian yang lebih terhadap mad’u dan kesempatan memberi pengaruh lebih besar, sehingga menjadi besar pula tingkat keberkesanan mengajak orang ke jalan dakwah.

Tarbiyah fardiyah adalah salah satu gaya pendekatan (Uslub) dalam berdakwah, akan tetapi gaya pendekatan yang satu ini tidak mungkin efektif dan membuahkan hasil bagi kalangan juru dakwah dengan berbagai level mad’unya, kerana para da’i yang memainkan da’wahnya dengan gaya ini dituntut untuk memiliki beberapa karakteristik khusus yang menjamin kebolehan dirinya melalui jalan dakwah dengan gaya pendekatan yang satu ini. Dengan kata lain tarbiyah fardiyah tidak dapat dilakukan oleh seseorang yang hanya disebut dan dikenal sebagai da’i saja, tetapi mesti oleh seseorang yang telah mendapat gelaran Da’i plus yaitu Da’i Murabbi.

Karakteristik Da’i Murabbi
Adapun beberapa karakteristik yang mesti dimiliki oleh seorang da’i Murabbi antara lain adalah :
Al-Fahmu As-syamil al-kamil, yaitu pemahaman yang sempurna dan menyeluruh terhadap asas-asas keislaman dan rambu-rambu petunjuknya, juga terhadap apa yaang akan didakwahkannya, kerana seorang da’i Murabbi akan mentarbiyah seseorang yang memiliki akal, perasaan dan pemahaman, dan orang tersebut akan merefleksikan apa yang didengar dan diperhatikan dari sang Murabbi, maka apabila seorang da’i Murabbi tidak memiliki level pengetahuan yang memadai dan wawasan pemahaman yang menyeluruh tentang asas-asas keislaman, maka hal itu akan memindahkan sebuah kebodohan kepada Mad’u itu sendiri, yang pada gilirannya akan menimbulkan masalah dam pembentukan keperibadian muslim sang mad’u itu sendiri.

Waqi’ ‘Amaly, yaitu keteladanan sang Da’i Murabbi dengan amal perbuatannya yang secara real nampak jelas pada prilakunya, seperti geraknya, diamnya, bicaranya, atributnya (attributes), pandangannya dan ibrohnya, seluruh keteladanan itu adalah buah refleksi dari pengaruh keimanan dan pemahaman dalam kehidupan sang da’i Murabbi, dalam rangka memberikan pengaruh keteladanan yang baik (Qudwah shalihah) pada saat kemunculannya di tengah-tengah masyarakat. Imam Hasan Al-Banna menyifatkan Da’i Murabbi dengan sebutan Da’i Mujahid, lebih jelasnya beliau menyebutkan bahawa da’i Mujahid adalah : “Sosok seorang Da’i yang telah mempersiapkan segala sesuatunya, yang terus menerus berfikir, besar perhatiannya dan siap siaga selalu”. Begitulah semestinya seorang Da’i, tercermin iman dan keyakinannya pada prilaku dan amalnya. Berdasarkan penelitian pada perjalanan kehidupan sang Da’i , bahawa pengaruh mereka terhadap banyak orang lebih banyak berasal dari perilaku dan akhlaknya yang istiqomah di setiap keadaan. Sudah menjadi pemahaman umum bahawa “Manthiqal Af’al aqwa min manthiqil aqwal” (Logika amal / perbuatan lebih kuat dari logika kata-kata). Dikatakan pula oleh ulama salafusalih : “Man lam tuhadzdzibka ru’yatuhu fa’lam annahu ghairu Muhaadzdzab” (Barang siapa yang tidak mendidikmu ketika engkau melihatnya maka ketahuilah bahawa orang itu juga tidak terdidik). Al-imam Syafi’i rahimahullahu berkata : “Man wa’adzha akhahu bifi’lihi kaana Haadiyan” (Barang siapa yang menasihati seudaranya dengan amal perbuatannya maka berarti ia telah menunjukinya). Oleh kerana itu keteladanan adalah fokus yang sangat sensitif dan halus, kerana apa yang nampak pada dirinya jauh lebih besar pengaruhnya dari apa yang diucapkannya (Al-Mandzhar a’dzhamu ta’tsiran minal qaul).

Al-khibrah binnufus, yaitu berpengalaman dalam memahami aspek kejiwaan, kerana sesungguhnya lapangan kerja seorang da’i Murabbi tidak lain adalah kejiwaaan, bergaul dengannya dan menjadikannya objektif yang pertama dan terakhir dalam Tarbiyah, sedangkan jiwa tidak seperti gigi sikat, akan tetapi jiwa orang berbeda satu dengan yang lainnya, ada yang lemah, ada yang kuat, ada yang peka dan over sensitif. Ada yang lembut, ada yang keras dan bebal dan sebagainya. Oleh kerana itu seorang murabbi hendaknya bergaul dengan seseorang sesuai dengan kejiwaannya dan berhati-hati dalam berinteraksi dengannya, maka jangan bersikap terlalu tegas dan streng kepada orang yang jiwanya halus dan peka, melainkan mesti dihadapi dengan lemah lembut, sebaliknya orang yang jiwanya keras mesti dihadapi dengan ketegasan jika ia lalai dan menyimpang. Adalah Rasulullah SAW Murabbi pertama yang berpengalaman dalam ilmu jiwa, beliau tidak mempergauli para sahabatnya dengan sikap yang sama antara yang satu dan lainnya, kerana beliau sangat tahu akan tabiat manusia dan kejiwaan mereka. Dalam hadits riwayat bukhari dari Abdulloh ibnu mas’ud RA. Beliau bersabda: “Adalah Rasulullah SAW pernah beberapa hari lamanya tidak memberikan nasihat dan wejangan kepada kami, kerana beliau takut kami menjadi bosan” (Al-Hadits). Berkaitan dengan Al-khibrah binnufus, banyak contoh keteladanan dari Murabbi zaman ini, diantara mereka adalah imam Hasan al-Banna, di mana telah terjadi dialog anatara beliau dengan salah seorang ikhwah, Ikhwah tersebut berkata: “sesungguhnya ana lagi banyak muskilah dan banyak yang ingin ana adukan kepada antum, masaalah yang ana hadapi ada yang bersifat umum dan ada yang khusus”, maka kata Imam Al-banna : “Sudahlah jangan bebani diri antum dengan masalah itu, serahkan urusan antum kepada Allah”, “Tapi, ana ingin antum tahu”, sergah Akh tersebut. “Sesungguhnya ana sudah tahu” kata Imam seraya meyakinkan Akh tersebut. “Jadi ana bahagia kalau antum mau tahu” balas akh tersebut. Akan tetapi belum sempat ana memulai curhat, beliau sudah mendahuluiku dengan rentetan musykilah dan keluhan yang dialaminya sendiri, bahkan yang menghairankan apa yang diutarakannya sama dengan apa yang ana rasakan. Setelah beliau selesai berbicara, maka ana pun berkata kepadanya : “Ya ustadz….. demi Allah sungguh ana sangat bahagia, dan ana tidak akan mengeluh lagi”, ana mengatakan semua itu sambil terisak dan bercucuran air mata”.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sesungguhnya Tarbiyah Fardiyah merupakan seni yang hanya dapat dimainkan oleh para Da’i tertentu, dan seni yang satu ini memiliki garis yang jelas dan batasan syar’i yang telah dirumuskan dalam ajaran islam. Seni yang satu ini juga bukan perkara yang mudah, semudah menulis dan mengarang sebuah buku tentang pentarbiyahan, juga semudah merumuskan manhaj dalam khayalan, akan tetapi apalah ertinya bila kemudian buku dan manhaj tersebut hanya menjadi tinta bisu diatas kertas tergantung diatas rak, kerana tidak diubah potensinya dalam gerak nyata yang tampak di permukaan bumi, menjadi manusia yang menterjemahkan buku dan manhaj tersebut kedalam perilakunya, gerak-geriknya, cita rasanya, struktur berfikir dan moralnya.

Nah, sekarang bagaimana kita harus mulakan, dari mana dan bila objektif akhirnya, adalah bentuk-bentuk pertanyaan yang jawabannya ada pada sejauh mana kita dapat merealisasikan manhaj Tarbiyah Fardiyah dengan segala uslub kerjanya.

Langkah pertama yang mesti dimulai dalam menjalankan misi Tarbiyah fardiyah ini adalah menjalin hubungan dengan seseorang yang hendak diproses, dan berusaha semaksima mungkin mengenali orang tersebut, mengenali pikirannya, pemahamannya, persepsinya dan mencermati sela-sela kelemahannya. Dengan begitu akan dapat dipastikan dan diketahui bentuk-bentuk pendekatan aplikasi apa yang mungkin boleh diimplementasikan terhadap orang tersebut. Setelah mengenali dan meyakini bahawa orang tersebut memang maslahat untuk didakwahi, maka mulailah sang da’i bersama orang tersebut melakukan rekreasi spritual (Rihlatul Iman), dalam rihlah inilah sang mad’u diiring untuk melalui tiga tahap peringkat perkembangan yang terbangun di atasnya nilai-nilai keperibadian Islam dan ciri-ciri keimanan, ketiga tahap jangkamasa perkembangan tersebut hendaknya secara tertib dan runtut mesti dilalui oleh sang mad’u, kerana hal itu merupakan faktor yang sangat asa bagi terbangunnya keperibadian Islami yang menyeluruh dan terhindarnya kesalahan besar dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah.

Tiga peringkat perkembangan
Adapun ketiga peringkat perkembangan tersebut adalah :

Pertama : peringkat pembinaan akidah, peringkat ini merupakan peringkat yang sangat fundamental dalam membentuk kepribadian seorang Muslim, kerana ia merupakan landasan pijak bagi peringkat perkembangan lainnya, akidah yang dimaksud bukanlah sekedar pengetahuan kering yang hanya membahas masalah-masalah yang tidak bermuara pada amal, dan tidak bermanfaat bagi pertumbuhan ghirah islamiyah dan semangat berdakwah, akan tetapi akidah yang dimaksud adalah sebagaimana yang dilihat oleh as-syahid Sayyid Qutub Rahimahullah dimana beliau berkata : “Sepatutnya peringkat pembinaan akidah melewati masa yang panjang, sehingga langkah-langkah pembinaan secara perlahan dapat mendekati kesempurnaan, dengan kedalaman dan kemantapannya, sebaliknya sepatutnya peringkat ini jangan hanya sekedar menjadi pelajaran teori, akan tetapi peringkat ini secara prioriti mesti dipahami sebagai peringkat menterjemahkan akidah dalam gambaran kehidupan nyata dengan segala kualitas perasaan dan amal perbuatan yang tercermin dalam bangunan kehidupan berjamaah dengan gerakan kolektifnya. Adalah sebuah kesalahan besar bila akidah hanya menjadi kerangka teori yang hanya sekadar dijadikan sebagai pelajaran intelektual”.

Kedua : Peringkat aplikasi, setelah akidah tertanam kuat pada diri sang mad’u, dan ia merasakan hubungan dan ketergantungan yang kuat kepada Allah SWT, maka berikutnya adalah peringkat aplikasi, yaitu pantulan tabiat dari keyakinannya dalam prilaku, gerak-gerik, akhlak dan ubudiahnya, maka bila peringkat ini dapat dilalui dengan baik berarti telah terjadi keselarasan “bainal madzhhar wal jauhar” antara esensi dan substansi, antar kulit dan isi, antara teori dan praktek, antara konsep dan realiti dan antara ilmu dan amal. Oleh kerana tuntutan dan target peringkat ini adalah mengiring seseorang untuk membentuk dirinya sehingga terjadi kesesuaian antara apa yang diyakininya (akidahnya) dengan amalan syar’i yang lekat secara menyeluruh pada dirinya dan muncul dari refleksi akidahnya.

Ketiga : Peringkat pemetaan amal islami, setelah akidah sang mad’u kuat dan amaliah syar’inya bagus, maka berarti ia telah menunjukan kesiapannya untuk dipetakan atau ditempatkan dalam projek amal islami (amal dakwah) dibawah naungan jamaah dan dakwah, dan dijelaskan kepadanya dalil-dali syar’i yang mengarahkan kewajiban bekerja di bawah naungan jamaah dan tidak menghindar dari padanya walau hanya sejengkal. Kesimpulannya bahawa tarbiyah fardiah dimulai dengan tarbiyah Islamiyah dan diikat kemudian dengan amal jama’i.

Kaidah Asasiyah
Terakhir, yang menjadi catatan penting dalam mentarbiyah adalah kaedah-kaedah asasiyah yang mesti di perhatikan oleh sang Murabbi, dan menerapkan kaedah-kaedah tersebut disela-sela aktivitinya dalam menjalankan tarbiyah fardiyah. Kaedah-kaedah tersebut di antaranya adalah :

Ar-Rifq, yaitu lemah lembut, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Imran : 159, lemah lembut adalah asas dalam bermuamalah, seorang da’i tidak dapat mengambil hati mad’unya, kecuali bila ia mempergaulinya dengan penuh lemah lembut sehingga menjadi mudah untuk menguasai hatinya.
Al-Ibti’adu anidzdzammi wattaa’aatubi, yaitu menjauhkan sikap agresif yang cenderung mencela dan mengkritik, kerana sesungguhnya dakwah tidak dibangun di atas celaan dan cemuhan, melainkan dengan Tanashuh (menjaga) dan Taghafur (mema’afkan) serta Al-Irsyad bil husna (membimbing dengan cara – cara yang baik. Sebagaiman Ibnus Samak seorang Ulama yang zuhud – Rahimahullah- ketika seseorang berkata kepadanya: “Kita bertemu lagi besok dalam rangka saling mencela”, lalu jawab Ibnu Samak : “Bal baini wa bainaka ghadan nataghafar” (Tidak, akan tetapi kita bertemu besok untuk saling memaafkan).

At-tarbiyah Tamhid wattasywiq, Tarbiyah itu mesti dijalankan dengan perlahan bukan dengan paksaan, dengan memunculkan kesenangan bukan ketakutan, hal ini tentu saja memerlukan kesabaran, kerana untuk dapat menikmati buahnya kadang mesti menunggu masa yang lama.

At-Tasyji’, iaitu motivasi sang da’i Murabbi terhadap mad’unya, berupa “reward”, apresiasi dan penghargaan, untuk menambah semangat dan mendorongnya untuk beramal, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah kepada sahabat Suhaib bin Sinan ar-Rumy, yang hijrah ke Madinah dengan meninggalkan seluruh hartanya setelah diambil seluruhnya oleh orang-orang musyrikin, dan dia hanya boleh menyelamatkan agamanya, Rasulullah menyambut kedatangannya seraya berkata : “Rabiha Suhaib” (beruntunglah Suhaib).
WaAllahu A’lamu bisshawab.
Makalah ini disadur dari Kitab “Mamarratul haq”, Juz a dan b, lissyaikh Ra’id Abdul Hady.