Tarbiyyah Fardhiyyah

TARBIYAH FARDIYAH

Definisi dan urgensi
Tarbiyah Fardiyah adalah peranan dan tugas individu dalam konteks amal Islami, dengan kemestian melakukan interaksi sosial yang bersifat individu untuk memperolehi satu tujuan dan objektif dengan unsur-unsur pendekatan yang baru, diluar kelaziman pelaksanaan Tarbiyah Jama’iyyah pada umumnya seperti halnya dalam bentuk halaqah. Unsur-unsur pendekatan dalam Tarbiyah Fardiyah diusahakan agar seseorang pada awalnya tertarik dengan fikrah Islam melalui proses Tarbiyah dan Takwin, kemudian setelah itu mengajaknya terlibat lebih jauh lagi dalam amal dakwah. Dalam hal ini kebebasan diberikan pada siapa saja yang ingin menjalankan misi Tarbiyah Fardiyah untuk memanfaatkan seoptimal mungkin seluruh akses (Relasi) dan prakeadaan untuk melakukan penembusan fikrah dan mengupayakan objek dakwah (Mutarabbi Fardy) dengan fikrah-fikrah yang ditawarkan kepadanya.

Maka sejauh mana kepentingan Tarbiyah Fardiyah dalam konteks amal islami? Ikhwah Fillah, sesungguhnya amal Islami tidak dapat berjalan kecuali dengan satu proses dan cara sebagaimana yang telah dilalui dan dijalankan oleh para Rasul ‘alaihimussholaatu wassalaam melalui media tarbiyah yang digerakkan untuk menyingkap dan mengenali hakikat agama ini (Al-Islam) secara menyeluruh. Berkata Imam Hasan Al-banna : “Sesungguhnya Manhaj Ikhwanul Muslimin wujud dalam pembatasan marhalah dengan kejelasan langkah-langkahnya, maka kita tahu sebenarnya apa yang kita inginkan, dan juga kita tahu wasilah yang dapat merealisasikan keinginan – keinginan itu”.

Landasan dan prinsip-prinsipnya
Tarbiyah fardiyah dilihat dari kewajibannya secara hukum, dapat difahami dari bentuk-bentuk sasaran firman Allah SWT yang diarahkan secara eksplisit kepada setiap individu muslim, juga arahan nabi yang menuju kepada hal yang sama, semua itu adalah Taklif yang memperkuat kemestian adanya rasa tanggungjawab pada setiap individu muslim untuk mengembangkan tugas dakwah islamiah, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Fusshilat : 33, As-Syura : 15, dan An-Nahl ; 125.

Adapun hadits Rasulullah SAW yang dapat dijadikan landasan syar’i Tarbiyah Fardiyah adalah hadits riwayat Muslim dari Abu Said Al-Khudry ; “Barang siapa yang melihat kemungkaran, hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak boleh dengan lisannya, jika tidak boleh dengan hatinya dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman”. Juga dalam hadits riwaayat Muslim lainnya : “Barang siapa yang menunjukan kepada kebaikan maka baginya pahala sebesar pahala orang yang mengerjakannya”.

Berkaitan dengan tarbiyah fardiyah Imam Hasan Al-banna mengingatkan kita bahawa kewajiban Tarbiyah Fardiah adalah kewajiban untuk bersungguh-sungguh dalam beramal, dengan menempuh proses “Takwin ba’da Tanbih” (Pembentukan setelah pengarahan) dan “Ta’sis ba’da Tadris” (Pemantapan atau pengokohan setelah pengajaran).

Terdapat enam prinsip untuk melancarkan efisiensi dan efektifitas tarbiyah fardiyah :

Pertama : Al-Manhaj As-salim, iaitu konsep yang benar, yang mampu mencetak peribadi dan generasi islami, konsep yang terpadu dan menyeluruh meliputi aspek-aspek tarbiyah fikriyah, ruhiyah dan akhlakiah.

Kedua : Al-qudwah al-hasanah, yaitu dalam hal ketaqwaan, kewarakan dan pengamalan ilmunya.

Ketiga : Al-bi’ah As-sholehah, iaitu dengan menyediakan suasana dan iklim yang sesuai untuk setiap individu, khususnya pada masa-masa memasuki tahapan pembentukan pertama.

Keempat : At-Tajarrud, iaitu totaliti (totality) seorang Murabbi yang mengembang misi dakwah dalam rangka membentuk keperibadian individu muslim dan memfokuskan hal itu.

Kelima : Tadarruj, yaitu seorang Murabbi dalam konteks Tarbiyah fardiyah hendaknya memperhatikan tahapan-tahapan logik, seperti memberikan penekanan pada masalah-masalah aqidah sebelum masalah Ibadah , masalah Ibadah sebelum konsep kehidupan yang lebih luas, ringkasnya adalah “Kulliat Qobla Juziyyat” .

Keenam : Arrifqu wallin, sikap lembut dan halus adalah wasilah dalam mentarbiyah, oleh kerananya hendaklah bersabar atas segala kegagalan dan kesalahan sampai datangnya satu masa di mana buah dari kesabaran itu akan tampak membuahkan hasilnya.

Wasilah dan keistimewannya
Adapun wasilah tarbiyah fardiyah banyak jenisnya yang dapat digunakan secara bertahap sesuai dengan tahapan pendekatan Murabbi terhadap individu mad’unya. Dalam bentuk tatap muka misalnya (Liqo’), seorang Murabbi tarbiyah fardiah boleh memanfaatkan pertemuan dengan membaca al-Qur’an, mengkaji hadith atau sirah, pertemuan tersebut sedapat mungkin dicarikan waktu dan tempatnya yang sesuai, boleh juga memanfaatkan pertemuan di Halaqah (ta’lim) Masjid, seminar Ilmiah, atau dengan mengajaknya ke rumah untuk makan, dalam bentuk yang lebih sederhana wasilah Tarbiyah fardiah boleh dengan menghadiahkan sebuah buku yang bermuatkan fikrah Islam, sehingga pada pertemuan berikutnya boleh didiskusikan hasil dari bacaan buku tersebut. Semua hal tersebut di atas adalah sebahagian dari wasilah-wasilah tarbiyah fardiyah. Adapun selebihnya seorang murabbi dengan kecerdasaannya dapat mengeksplorasi dan mengembangkan wasilah-wasilah lainnya lebih banyak lagi.

Tarbiyah fardiyah bila dijalankan sesuai dengan manhajnya maka ia akan menjadi wasilah yang paling efektif, paling kuat pengaruhnya, dan paling terjamin kualitinya terhadap individu mad’u, keistimewaan Tarbiyah Fardiyah terletak pada fokus perhatian yang lebih terhadap mad’u dan kesempatan memberi pengaruh lebih besar, sehingga menjadi besar pula tingkat keberkesanan mengajak orang ke jalan dakwah.

Tarbiyah fardiyah adalah salah satu gaya pendekatan (Uslub) dalam berdakwah, akan tetapi gaya pendekatan yang satu ini tidak mungkin efektif dan membuahkan hasil bagi kalangan juru dakwah dengan berbagai level mad’unya, kerana para da’i yang memainkan da’wahnya dengan gaya ini dituntut untuk memiliki beberapa karakteristik khusus yang menjamin kebolehan dirinya melalui jalan dakwah dengan gaya pendekatan yang satu ini. Dengan kata lain tarbiyah fardiyah tidak dapat dilakukan oleh seseorang yang hanya disebut dan dikenal sebagai da’i saja, tetapi mesti oleh seseorang yang telah mendapat gelaran Da’i plus yaitu Da’i Murabbi.

Karakteristik Da’i Murabbi
Adapun beberapa karakteristik yang mesti dimiliki oleh seorang da’i Murabbi antara lain adalah :
Al-Fahmu As-syamil al-kamil, yaitu pemahaman yang sempurna dan menyeluruh terhadap asas-asas keislaman dan rambu-rambu petunjuknya, juga terhadap apa yaang akan didakwahkannya, kerana seorang da’i Murabbi akan mentarbiyah seseorang yang memiliki akal, perasaan dan pemahaman, dan orang tersebut akan merefleksikan apa yang didengar dan diperhatikan dari sang Murabbi, maka apabila seorang da’i Murabbi tidak memiliki level pengetahuan yang memadai dan wawasan pemahaman yang menyeluruh tentang asas-asas keislaman, maka hal itu akan memindahkan sebuah kebodohan kepada Mad’u itu sendiri, yang pada gilirannya akan menimbulkan masalah dam pembentukan keperibadian muslim sang mad’u itu sendiri.

Waqi’ ‘Amaly, yaitu keteladanan sang Da’i Murabbi dengan amal perbuatannya yang secara real nampak jelas pada prilakunya, seperti geraknya, diamnya, bicaranya, atributnya (attributes), pandangannya dan ibrohnya, seluruh keteladanan itu adalah buah refleksi dari pengaruh keimanan dan pemahaman dalam kehidupan sang da’i Murabbi, dalam rangka memberikan pengaruh keteladanan yang baik (Qudwah shalihah) pada saat kemunculannya di tengah-tengah masyarakat. Imam Hasan Al-Banna menyifatkan Da’i Murabbi dengan sebutan Da’i Mujahid, lebih jelasnya beliau menyebutkan bahawa da’i Mujahid adalah : “Sosok seorang Da’i yang telah mempersiapkan segala sesuatunya, yang terus menerus berfikir, besar perhatiannya dan siap siaga selalu”. Begitulah semestinya seorang Da’i, tercermin iman dan keyakinannya pada prilaku dan amalnya. Berdasarkan penelitian pada perjalanan kehidupan sang Da’i , bahawa pengaruh mereka terhadap banyak orang lebih banyak berasal dari perilaku dan akhlaknya yang istiqomah di setiap keadaan. Sudah menjadi pemahaman umum bahawa “Manthiqal Af’al aqwa min manthiqil aqwal” (Logika amal / perbuatan lebih kuat dari logika kata-kata). Dikatakan pula oleh ulama salafusalih : “Man lam tuhadzdzibka ru’yatuhu fa’lam annahu ghairu Muhaadzdzab” (Barang siapa yang tidak mendidikmu ketika engkau melihatnya maka ketahuilah bahawa orang itu juga tidak terdidik). Al-imam Syafi’i rahimahullahu berkata : “Man wa’adzha akhahu bifi’lihi kaana Haadiyan” (Barang siapa yang menasihati seudaranya dengan amal perbuatannya maka berarti ia telah menunjukinya). Oleh kerana itu keteladanan adalah fokus yang sangat sensitif dan halus, kerana apa yang nampak pada dirinya jauh lebih besar pengaruhnya dari apa yang diucapkannya (Al-Mandzhar a’dzhamu ta’tsiran minal qaul).

Al-khibrah binnufus, yaitu berpengalaman dalam memahami aspek kejiwaan, kerana sesungguhnya lapangan kerja seorang da’i Murabbi tidak lain adalah kejiwaaan, bergaul dengannya dan menjadikannya objektif yang pertama dan terakhir dalam Tarbiyah, sedangkan jiwa tidak seperti gigi sikat, akan tetapi jiwa orang berbeda satu dengan yang lainnya, ada yang lemah, ada yang kuat, ada yang peka dan over sensitif. Ada yang lembut, ada yang keras dan bebal dan sebagainya. Oleh kerana itu seorang murabbi hendaknya bergaul dengan seseorang sesuai dengan kejiwaannya dan berhati-hati dalam berinteraksi dengannya, maka jangan bersikap terlalu tegas dan streng kepada orang yang jiwanya halus dan peka, melainkan mesti dihadapi dengan lemah lembut, sebaliknya orang yang jiwanya keras mesti dihadapi dengan ketegasan jika ia lalai dan menyimpang. Adalah Rasulullah SAW Murabbi pertama yang berpengalaman dalam ilmu jiwa, beliau tidak mempergauli para sahabatnya dengan sikap yang sama antara yang satu dan lainnya, kerana beliau sangat tahu akan tabiat manusia dan kejiwaan mereka. Dalam hadits riwayat bukhari dari Abdulloh ibnu mas’ud RA. Beliau bersabda: “Adalah Rasulullah SAW pernah beberapa hari lamanya tidak memberikan nasihat dan wejangan kepada kami, kerana beliau takut kami menjadi bosan” (Al-Hadits). Berkaitan dengan Al-khibrah binnufus, banyak contoh keteladanan dari Murabbi zaman ini, diantara mereka adalah imam Hasan al-Banna, di mana telah terjadi dialog anatara beliau dengan salah seorang ikhwah, Ikhwah tersebut berkata: “sesungguhnya ana lagi banyak muskilah dan banyak yang ingin ana adukan kepada antum, masaalah yang ana hadapi ada yang bersifat umum dan ada yang khusus”, maka kata Imam Al-banna : “Sudahlah jangan bebani diri antum dengan masalah itu, serahkan urusan antum kepada Allah”, “Tapi, ana ingin antum tahu”, sergah Akh tersebut. “Sesungguhnya ana sudah tahu” kata Imam seraya meyakinkan Akh tersebut. “Jadi ana bahagia kalau antum mau tahu” balas akh tersebut. Akan tetapi belum sempat ana memulai curhat, beliau sudah mendahuluiku dengan rentetan musykilah dan keluhan yang dialaminya sendiri, bahkan yang menghairankan apa yang diutarakannya sama dengan apa yang ana rasakan. Setelah beliau selesai berbicara, maka ana pun berkata kepadanya : “Ya ustadz….. demi Allah sungguh ana sangat bahagia, dan ana tidak akan mengeluh lagi”, ana mengatakan semua itu sambil terisak dan bercucuran air mata”.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sesungguhnya Tarbiyah Fardiyah merupakan seni yang hanya dapat dimainkan oleh para Da’i tertentu, dan seni yang satu ini memiliki garis yang jelas dan batasan syar’i yang telah dirumuskan dalam ajaran islam. Seni yang satu ini juga bukan perkara yang mudah, semudah menulis dan mengarang sebuah buku tentang pentarbiyahan, juga semudah merumuskan manhaj dalam khayalan, akan tetapi apalah ertinya bila kemudian buku dan manhaj tersebut hanya menjadi tinta bisu diatas kertas tergantung diatas rak, kerana tidak diubah potensinya dalam gerak nyata yang tampak di permukaan bumi, menjadi manusia yang menterjemahkan buku dan manhaj tersebut kedalam perilakunya, gerak-geriknya, cita rasanya, struktur berfikir dan moralnya.

Nah, sekarang bagaimana kita harus mulakan, dari mana dan bila objektif akhirnya, adalah bentuk-bentuk pertanyaan yang jawabannya ada pada sejauh mana kita dapat merealisasikan manhaj Tarbiyah Fardiyah dengan segala uslub kerjanya.

Langkah pertama yang mesti dimulai dalam menjalankan misi Tarbiyah fardiyah ini adalah menjalin hubungan dengan seseorang yang hendak diproses, dan berusaha semaksima mungkin mengenali orang tersebut, mengenali pikirannya, pemahamannya, persepsinya dan mencermati sela-sela kelemahannya. Dengan begitu akan dapat dipastikan dan diketahui bentuk-bentuk pendekatan aplikasi apa yang mungkin boleh diimplementasikan terhadap orang tersebut. Setelah mengenali dan meyakini bahawa orang tersebut memang maslahat untuk didakwahi, maka mulailah sang da’i bersama orang tersebut melakukan rekreasi spritual (Rihlatul Iman), dalam rihlah inilah sang mad’u diiring untuk melalui tiga tahap peringkat perkembangan yang terbangun di atasnya nilai-nilai keperibadian Islam dan ciri-ciri keimanan, ketiga tahap jangkamasa perkembangan tersebut hendaknya secara tertib dan runtut mesti dilalui oleh sang mad’u, kerana hal itu merupakan faktor yang sangat asa bagi terbangunnya keperibadian Islami yang menyeluruh dan terhindarnya kesalahan besar dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah.

Tiga peringkat perkembangan
Adapun ketiga peringkat perkembangan tersebut adalah :

Pertama : peringkat pembinaan akidah, peringkat ini merupakan peringkat yang sangat fundamental dalam membentuk kepribadian seorang Muslim, kerana ia merupakan landasan pijak bagi peringkat perkembangan lainnya, akidah yang dimaksud bukanlah sekedar pengetahuan kering yang hanya membahas masalah-masalah yang tidak bermuara pada amal, dan tidak bermanfaat bagi pertumbuhan ghirah islamiyah dan semangat berdakwah, akan tetapi akidah yang dimaksud adalah sebagaimana yang dilihat oleh as-syahid Sayyid Qutub Rahimahullah dimana beliau berkata : “Sepatutnya peringkat pembinaan akidah melewati masa yang panjang, sehingga langkah-langkah pembinaan secara perlahan dapat mendekati kesempurnaan, dengan kedalaman dan kemantapannya, sebaliknya sepatutnya peringkat ini jangan hanya sekedar menjadi pelajaran teori, akan tetapi peringkat ini secara prioriti mesti dipahami sebagai peringkat menterjemahkan akidah dalam gambaran kehidupan nyata dengan segala kualitas perasaan dan amal perbuatan yang tercermin dalam bangunan kehidupan berjamaah dengan gerakan kolektifnya. Adalah sebuah kesalahan besar bila akidah hanya menjadi kerangka teori yang hanya sekadar dijadikan sebagai pelajaran intelektual”.

Kedua : Peringkat aplikasi, setelah akidah tertanam kuat pada diri sang mad’u, dan ia merasakan hubungan dan ketergantungan yang kuat kepada Allah SWT, maka berikutnya adalah peringkat aplikasi, yaitu pantulan tabiat dari keyakinannya dalam prilaku, gerak-gerik, akhlak dan ubudiahnya, maka bila peringkat ini dapat dilalui dengan baik berarti telah terjadi keselarasan “bainal madzhhar wal jauhar” antara esensi dan substansi, antar kulit dan isi, antara teori dan praktek, antara konsep dan realiti dan antara ilmu dan amal. Oleh kerana tuntutan dan target peringkat ini adalah mengiring seseorang untuk membentuk dirinya sehingga terjadi kesesuaian antara apa yang diyakininya (akidahnya) dengan amalan syar’i yang lekat secara menyeluruh pada dirinya dan muncul dari refleksi akidahnya.

Ketiga : Peringkat pemetaan amal islami, setelah akidah sang mad’u kuat dan amaliah syar’inya bagus, maka berarti ia telah menunjukan kesiapannya untuk dipetakan atau ditempatkan dalam projek amal islami (amal dakwah) dibawah naungan jamaah dan dakwah, dan dijelaskan kepadanya dalil-dali syar’i yang mengarahkan kewajiban bekerja di bawah naungan jamaah dan tidak menghindar dari padanya walau hanya sejengkal. Kesimpulannya bahawa tarbiyah fardiah dimulai dengan tarbiyah Islamiyah dan diikat kemudian dengan amal jama’i.

Kaidah Asasiyah
Terakhir, yang menjadi catatan penting dalam mentarbiyah adalah kaedah-kaedah asasiyah yang mesti di perhatikan oleh sang Murabbi, dan menerapkan kaedah-kaedah tersebut disela-sela aktivitinya dalam menjalankan tarbiyah fardiyah. Kaedah-kaedah tersebut di antaranya adalah :

Ar-Rifq, yaitu lemah lembut, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Imran : 159, lemah lembut adalah asas dalam bermuamalah, seorang da’i tidak dapat mengambil hati mad’unya, kecuali bila ia mempergaulinya dengan penuh lemah lembut sehingga menjadi mudah untuk menguasai hatinya.
Al-Ibti’adu anidzdzammi wattaa’aatubi, yaitu menjauhkan sikap agresif yang cenderung mencela dan mengkritik, kerana sesungguhnya dakwah tidak dibangun di atas celaan dan cemuhan, melainkan dengan Tanashuh (menjaga) dan Taghafur (mema’afkan) serta Al-Irsyad bil husna (membimbing dengan cara – cara yang baik. Sebagaiman Ibnus Samak seorang Ulama yang zuhud – Rahimahullah- ketika seseorang berkata kepadanya: “Kita bertemu lagi besok dalam rangka saling mencela”, lalu jawab Ibnu Samak : “Bal baini wa bainaka ghadan nataghafar” (Tidak, akan tetapi kita bertemu besok untuk saling memaafkan).

At-tarbiyah Tamhid wattasywiq, Tarbiyah itu mesti dijalankan dengan perlahan bukan dengan paksaan, dengan memunculkan kesenangan bukan ketakutan, hal ini tentu saja memerlukan kesabaran, kerana untuk dapat menikmati buahnya kadang mesti menunggu masa yang lama.

At-Tasyji’, iaitu motivasi sang da’i Murabbi terhadap mad’unya, berupa “reward”, apresiasi dan penghargaan, untuk menambah semangat dan mendorongnya untuk beramal, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah kepada sahabat Suhaib bin Sinan ar-Rumy, yang hijrah ke Madinah dengan meninggalkan seluruh hartanya setelah diambil seluruhnya oleh orang-orang musyrikin, dan dia hanya boleh menyelamatkan agamanya, Rasulullah menyambut kedatangannya seraya berkata : “Rabiha Suhaib” (beruntunglah Suhaib).
WaAllahu A’lamu bisshawab.
Makalah ini disadur dari Kitab “Mamarratul haq”, Juz a dan b, lissyaikh Ra’id Abdul Hady.

1 comments:

sifa said...

alhamdulillah, saya baca dan saya dapat manfaat.

Tuesday, 26 April, 2016